Ibu Ita Rosita


Bersama KKI Meraih Rumah Idaman

“…SAYA YAKIN SEKALI KALAU SAYA NGGAK DIPERTEMUKAN DENGAN KKI, SAYA PASTI MASIH HIDUP NGONTRAK SAMPAI SAAT INI…”

LIKA LIKU KEHIDUPAN IBU ITA ROSITA

Jalan Raya Tugu merupakan saksi perjalanan masa kecil hingga remaja Ibu Ita Rosita. Keluarganya berjualan nasi dan lauk-pauk di depan rumah. Sejak kecil, ibu dari tiga orang putri ini memang terbiasa ikut berjualan. Lewat berjualan pula yang mengantarkan Ibu Ita Rosita mendapatkan jodoh. Calon suaminya saat itu adalah seorang nelayan dan mereka menikah di tahun 2005.

Pada tahun 2007, Ibu Ita Rosita dan keluarga pindah ke Pulau Bangka, Sumatera Selatan. Kepindahan keluarganya karena suami Ibu Ita Rosita ditawari pekerjaan sebagai satpam di kafe milik keluarga suaminya. Melihat potensi lingkungannya yang ramai, naluri berdagang Ibu Ita Rosita pun muncul. Gayung pun bersambut. Ayah mertuanya mendukung dengan memberikan lapak yang sudah diisi dengan etalase dan barang dagangan seperti mie instan, pop mie, kopi, teh, dan lainnya.

Lingkungan kafe yang ramai dengan pengunjung membuat dagangan Ibu Ita Rosita sangat laku. Sekian waktu berjalan, mereka merasa bahwa kondisi lingkungan di sekitar kafe yang identik dengan dunia malam dirasa tidak cukup kondusif untuk keluarga terutama anak-anak mereka. Maka, mereka memutuskan kembali ke Jakarta.

Saat akan pulang ke Jakarta, tidak banyak uang yang mereka bawa. Mereka menganggap apa yang mereka hasilkan bukan sepenuhnya milik mereka karena modal awal Ibu Ita berdagang sepenuhnya diberikan oleh ayah mertuanya. Maka sekembalinya mereka ke Jakarta mereka tinggalkan semua yang mereka hasilkan. “Saya bener-bener nggak bawa barang apa-apa. Uang yang ada pun cuma untuk membeli tiket kapal saja,” tutur Ibu Ita Rosita menceritakan pengalamannya saat itu.

Sekembalinya ke Jakarta pada tahun 2008, karena kondisi keuangan menipis, Ibu Ita Rosita memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di industri garmen. Hampir 1 tahun bekerja, sebuah peristiwa naas terjadi. Saat Ibu Ita Rosita pulang kantor dan hendak menyebrang jalan, tiba-tiba sebuah angkot melaju kencang dan menabrak tubuhnya hingga membuat dirinya terpental dan tak sadarkan diri. Ketika sadar, Ibu Ita Rosita sudah berada di rumah sakit dengan luka serius di bagian kepala dan wajahnya. “Wajah saya penuh luka. Ngeri sekali. Saya aja nggak mau liat kaca waktu itu,” kata Ibu Ita Rosita memejamkan mata dengan badan gemetar karena membayangkan kejadian waktu itu.

Masa pemulihan luka dan trauma adalah masa–masa terberat bagi Ibu Ita Rosita. Selain harus menahan sakit akibat luka yang dideritanya, ia pun harus menahan malu karena mukanya penuh dengan luka. Ia tidak percaya diri dan tidak berani untuk bertemu dengan tetangga. Bahkan, untuk melihat wajahnya sendiri di cermin. Masa pemulihan luka yang memakan waktu sekitar enam bulan membuat Ibu Ita Rosita merasa tak enak hati terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Ia kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri.

Selang setahun, keinginan Ibu Ita Rosita untuk berdagang muncul kembali. Adiknya menawari lahan untuk tempat berdagang. Bermodal uang 1 juta rupiah yang merupakan gabungan dari uang pemberian suami dan tabungannya, Ibu Ita Rosita membuat warung kecil dan memasang etalase. Sayang, modal tersebut hanya cukup untuk menyiapkan tempat saja.

Menemukan Titik Cerah

Kesempatan mendapatkan modal datang saat Ibu Ita Rosita sedang mengantar anak keduanya, Cinta, ke sekolah. Ia dikenalkan dengan Koperasi Kasih Indonesia melalui Ibu Rita, Kepala Sekolah tempat anaknya belajar. Ibu Rita lalu menjelaskan bahwa KKI akan memberikan pinjaman modal kepada para pengusaha kecil. Sehingga syarat utama untuk bergabung tentu saja harus memiliki usaha.

Mendengar penuturan Ibu Rita, sontak mata Ibu Ita Rosita langsung berbinar. Ia sudah membayangkan tak lama lagi warungnya akan segera terisi dagangan dan ia bisa segera mulai berdagang. Saat ditanya Ibu Rita berapa jumlah pinjaman yang akan diajukan, Ibu Ita Rosita mengajukan pinjaman 1 juta rupiah. “Saya cuma bantu untuk catat ya, Bu. Selebihnya nanti tergantung kepala pengurusnya, Pak Leon,” lanjut Ibu Rita sambil tersenyum. Beberapa hari kemudian, Pak Leonardo Kamilius (kepala pengurus KKI) datang untuk melakukan survei. Saat itu, masih merupakan tahun awal KKI berdiri. Sehingga, kepala pengurus masih merangkap tugas sebagai petugas yang melakukan survei. Akhirnya, setelah dilakukan survei, Ibu Ita Rosita diberikan pinjaman sebesar 1 juta rupiah.

Ternyata penghasilan warung Ibu Ita Rosita sangat lumayan. Ia bisa memperolah penghasilan bersih 500 ribu setiap hari. “Wah, dulu mah jangan ditanya. Alhamdulillah banget. Maklum, Dek, dulu kan warung belum terlalu banyak. Masih sepi. Jadi warung saya laku banget, apalagi ini buka sampai malam. Soalnya saya sama bapaknya gantian jaga. Saya siang sampai sore, bapaknya pulang dari laut nerusin sampai jam 12 malam,” jelas Ibu Ita Rosita panjang lebar. Pelanggannya paling banyak adalah para nelayan yang baru pulang melaut.

Meraih Impian Mewujudkan Rumah Idaman

Setiap minggu, Ibu Ita Rosita selalu datang ke TK tempat anaknya sekolah untuk mengantarkan uang setoran dan mendapatkan motivasi dari petugas KKI. “Waktu itu saya diajarin sama Pak Leon dan Bu Lucy. Setiap minggu kami dapat pengarahan. Saya diajari cara mengelola uang,” kata Ibu Ita Rosita. “Ilmu yang paling nempel sama saya waktu Pak Leon bilang, Ibu kalau beli itu yang ibu butuhkan, jangan yang ibu inginkan. Soalnya kalau ibu beli yang ibu inginkan pasti nggak ada habis-habisnya. Yaa namanya ibuibu kan ya, Mbak. Lihat sepatu cakep dikit, beli. Baju bagus, beli. Nah, ilmu itu nempel terus di kepala saya sampai sekarang,” urai Ibu Ita Rosita penuh semangat.

Motivasi yang diberikan setiap minggu membuat Ibu Ita Rosita rajin menabung. Ia ingin memiliki rumah karena sudah lelah mengontrak. ”Haduh capek, Dek, saya ngontrak melulu. Sudah 19 tahun saya ngontrak nggak punyapunya rumah,” keluhnya. “Makanya begitu dapat ilmu langsung saya praktekkan. Alhamdulillah dagangan laku, jadi uang hasil berdagang saya putar lagi untuk modal. Sisanya sekitar 100 sampai 200 ribu rupiah saya simpan untuk tabungan, walaupun belum ada bayangan mau beli rumah di daerah mana,” tambahnya.

Keinginan Ibu Ita Rosita menemui titik terang saat adiknya menawarkan tanahnya seharga 2,5 juta rupiah. “Saya bayar sebutuhnya adek saya saja. Jadi nggak dipatok buat bayar harus lunas kapan,” kata Ibu Ita Rosita.

Hal itu membuatnya lebih fokus menabung guna membeli bahan bangunan dan membayar tukang. “Saya bangun rumahnya nyicil. Pertama, pas terkumpul duit bikin fondasi terus bikin rangka sama atap. Udah nembok tinggal pasang keramik, saya kehabisan tabungan. Dari yang punya kontrakkan juga mendesak terus kapan rumah selesai,” tutur Ibu Ita Rosita. Biaya yang dihabiskannya untuk membuat fondasi sampai membuat rangka rumah habis sampai sekitar 10 juta rupiah. Sesudah itu, Ibu Ita Rosita tidak memiliki uang lagi untuk memasang keramik dan juga memasang dinding rumah.

Dalam kebingungan itu, Ibu Ita Rosita memutar otak untuk mencari dana tambahan. Keinginan dan doa yang kuat untuk memiliki rumah mendapatkan jalan dengan mendapat pinjaman bulanan dari KKI. Pinjaman sebesar 5 juta dari KKI dikembalikan dengan dicicil setiap bulan sebesar 650 ribu rupiah. Setelah hampir setahun dibangun, akhirnya rumah yang diimpikan oleh Ibu Ita Rosita pun menjadi kenyataan.”Saya nggak pernah mau ngilang-ngilangin jasa KKI sama saya. Saya yakin sekali kalau saya nggak dipertemukan dengan KKI, saya pasti masih hidup ngontrak sampai saat ini. Apalagi sebelumnya saya nggak kenal yang namanya menabung,” kata Ibu Ita Rosita dengan mata berkaca-kaca.

Keinginan Ibu Ita Rosita untuk maju tidak selesai sampai di situ. Ia mengajukan pinjaman pada KKI sebesar 5 juta rupiah untuk membuat rumah bagi anak sulungnya yang akhirnya menjadi rumah kontrakan. Sekarang rumah itu dia sewakan seharga 500 ribu per bulan. Selain membuka usaha kontrakkan, ia juga memiliki usaha selang air. Di tempatnya tinggal, air bersih sudah sulit didapat sehingga untuk mendapat air bersih harus memasang air PAM atau membeli. Uang sebesar 2.5 juta menjadi modal awal Ibu Ita Rosita untuk memasang selang, membeli jerigen, dan gerobak. Dari hasil memasang air itulah, ia bisa menjual air paling banyak hingga 10 gerobak. Satu gerobak dihargai 6 ribu rupiah.

Sekarang Ibu Ita Rosita memiliki beberapa usaha, yaitu: warung, selang air, dan kontrakkan. Hal ini tidak membuat Ibu Ita Rosita cepat berpuas diri. Dia ingin menambah gerobak baru untuk usaha selang airnya agar keinginannya menyekolahkan anak sampai sarjana dan juga bisa berangkat haji bersama suaminya dapat segera terwujud.

Jalan untuk mewujudkan mimpi selanjutnya memang butuh perjuangan namun Ibu Ita yakin dengan usaha keras, doa, hemat, dan menabung, ia bisa mewujudkan mimpi-mimpinya.

Semangat terus Ibu Ita Rosita!